Kamis, 17 Desember 2009

TV: Antara Fungsi Sosial dan “Agama Baru

Televisi yang saat ini sudah tayang 24 jam dari sejumlah stasiun penyiaran (siaran swasta, berlangganan, publik dan komunitas) dengan program acara meliputi hampir seluruh aspek kehidupan kita, telah begitu menarik dan sangat banyak menyita perhatian manusia dari segala jenis status, usia dan jenis kelamin.

Televisi telah menjadi “agama baru” karena dalam kenyataannya memang sudah terlalu sering peran dan fungsi agama diambil alih oleh televisi. Telah diyakini dan diakui bersama bahwa peran agama dalam kehidupan dipandang sebagai hal yang sangat dipentingkan dan menjadi pedoman dalam menjalani segala aspek kehidupan.


Setidaknya, selama ini agama berfungsi sebagai pelipur lara di kala duka, menjadi pedoman dan cermin dalam bertingkah laku, di mana ritme dan jadwal kehidupan kita senantiasa harus disesuaikan dengan agenda ritual keagamaan.



Akan tetapi, jika kita mencoba merenungkan dengan apa yang telah dan sedang terjadi di sekitar kita saat ini, khususnya tentang daya tarik dan kekuatan pengaruh televisi dalam kehidupan keluarga, maka boleh jadi kita tidak bisa menyangkali, bahwa peran dan fungsi keagamaan tersebut, sebagian besar telah diambil alih oleh televisi.



Di antara dominasi pengaruh televisi dalam kehidupan keluarga, dapat terlihat pada saat dan bagaimana segenap anggota keluarga memperlakukan "si layar kaca" tersebut, dalam hal; Pertama, sebagai hal yang dipentingkan dan diutamakan. Perhatikanlah, bagaimana setiap keluarga begitu lebih mengutamakan dan mementingkan keberadaan televisi dalam kehidupan rumah tangga.



Sebuah rumah tangga tanpa kehadiran televisi akan terasa dan dianggap belum sempurna. Televisi tidak lagi semata berfungsi aksesoris ataupun kelengkapan desain interior untuk entertainment rumah tangga, akan tetapi telah menjadi prestise dan takaran prestasi material pencapaian keberhasilan sebuah keluarga.



Kedua, sebagai patokan jadwal aktivitas keluarga. Dalam hal ini, kita pernah mengalami masa di mana pada umumnya kaum ibu penggemar telenovela, banyak di antaranya yang keranjingan sehingga jangan harap ada acara keluarga lainnya, manakala pas bertepatan dengan jadwal menonton acara favorit sang ibu rumah tangga tersebut.



Menonton acara favorit di TV adalah sebuah kewajiban, sebagaimana layaknya kewajiban beribadah dengan waktu yang sudah ditentukan. Lebih konkretnya lagi, simaklah betapa acara siaran bola piala dunia berpengaruh kuat terhadap seseorang, sehingga siap begadang sampai pagi, dan lalai salat subuh.



Ketiga, sebagai contoh dan panduan dalam hal bertingkah laku. Jika selama ini ajaran agama yang menjadi pedoman dalam hal bagaimana seharusnya bertingkah laku, maka saat ini, hal itu dapat dengan mudah kita temukan dalam segenap program acara di TV.



Simak saja mode pakaian dan model tingkah laku serta cara bertutur anak-anak dan remaja di sekitar kita. Dapat dipastikan, bahwa kesemuanya itu berawal dan bersumber dari hasil tayangan TV. Baik itu melalui iklan komersial, kemasan sinetron, acara infotainment, maupun diperagakan langsung oleh sejumlah selebritis yang bertindak sebagai presenter dalam berbagai acara di TV.



Dampak kepada Keluarga



Sebuah jajak pendapat di US News dan World Report melaporkan bahwa 90 persen responden merasa kalau saat ini, bangsa Amerika telah tergelincir ke dalam kejatuhan yang amat parah. Dari jajak pendapat tersebut ditemukan bahwa 62 persen merasa TV tidak lagi bersahabat dengan nilai-nilai moral dan spiritual mereka. Walaupun demikian, terjadi dikotomi di mana TV tetap banyak dan menarik ditonton oleh mereka.



Memang, kita juga tidak bisa menyangkali bahwa tidaklah semua acara di TV buruk adanya. Masih terdapat sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari menonton TV. Meskipun demikian, sebagaimana yang dikemukakan oleh penulis buku terlaris dunia;



Stephen R Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective Families (1999) bahwa kebanyakan keluarga akan mengalami kesulitan ketika harus memilah dan memilih siaran TV yang cocok, khususnya bagi keluarga yang memiliki anak-anak dan remaja. Memilih acara TV yang cocok, sama halnya dengan memilih salad yang bercampur-aduk dari tumpukan sampah. Mungkin ada sedikit salad yang enak di sana, tetapi cukup sulit memisahkan sampahnya, kotorannya dan lalat-lalatnya.



Lebih lanjut, Covey mengingatkan bahwa membiarkan anak-anak menonton TV tanpa pengawasan dari orang tua, sama halnya dengan mengundang seorang asing ke dalam rumah Anda selama beberapa jam setiap hari. Orang asing tersebut, memberitahukan kepada anak-anak Anda tentang segala hal mengenai dunia yang jahat; tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah secara pintas, tentang pesta, seks dan kecantikan serta kemewahan sebagai segala-galanya.



Kesemuanya itu terjadi, di mana para orangtua banyak tidak menyadari bahwa karakter anak-anak mereka telah dipercayakannya untuk dibentuk oleh siaran TV. Guru tak diundang tersebut, yang setiap hari datang menjenguk sang anak, telah dengan begitu leluasanya membentuk karakter sang anak secara tidak terduga.



Prof Dr Sarlito W Sarwono, psikolog yang akhir-akhir ini banyak mencurahkan perhatiannya tentang dampak TV terhadap anak-anak, begitu sangat terkejut melihat sebuah hasil penelitian yang merilis bahwa anak-anak Indonesia menghabiskan waktunya menonton TV rata-rata enam jam sehari (sementara batas toleransi adalah maksimal dua jam sehari untuk usia anak sekitar 3 hingga 7 tahun). Hal itu terjadi, karena perubahan gaya dan pola hidup keluarga Indonesia, khususnya di perkotaan. Mereka terlalu sibuk sehingga anak diserahkan kepada pembantu, yang celakanya, pembantu banyak menghabiskan waktunya menonton TV.



Akibat menonton TV berlebihan secara tidak selektif tersebut, sebagaimana dirilis oleh sejumlah penelitian, maka anak-anak akan sulit berkonsentrasi dalam belajar, daya ingat/hafalan melemah, temperamental, cenderung tidak patuh pada orangtua, dan bisa bersikap anti sosial.



Mengembalikan Fungsi Sosial Televisi



Ahli komunikasi massa Harold D Lasswell dan Charles Wright (1954) menyatakan bahwa ada empat fungsi sosial media massa, yaitu pertama, sebagai social surveilance. Pada fungsi ini, media massa termasuk media televisi, akan senantiasa merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi seobjektif mungkin mengenai peristiwa yang terjadi, dengan maksud agar dapat dilakukan kontrol sosial sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam lingkungan masyarakat bersangkutan.



Kedua, sebagai social corelation. Dengan fungsi korelasi sosial tersebut, akan terjadi upaya penyebaran informasi yang dapat menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya. Begitupun antara pandangan-pandangan yang berbeda, agar tercapai konsensus sosial.



Ketiga, fungsi socialization. Pada fungsi ini, media massa selalu merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Keempat, fungsi entertainment. Agar tidak membosankan, sudah tentu media massa perlu juga menyajikan hiburan kepada khalayaknya. Hanya saja, fungsi hiburan ini sudah terlalu dominan mewarnai siaran televisi kita, sehingga ketiga fungsi lainnya, seolah telah terlupakan.



Sejatinya, keempat fungsi media massa tersebut bersinergi dan sinkron dalam rangka menyajikan tontonan yang sehat. Sebab, hanya dengan tontonan yang sehat sajalah yang nantinya dapat melahirkan generasi yang sehat. Dalam hal inilah, maka pemerintah perlu bertekad dan berkomitmen untuk mengupayakan agar masyarakat ke depan jangan lagi mau membiarkan diri dan keluarganya didikte oleh siaran TV yang tidak mendidik.


http://taufik79.wordpress.com/2008/04/15/televisi-antara-fungsi-sosial-dan-agama-baru/

1 komentar:

  1. hmmmm jadi tv sudah menjadi bagian keluarga yag tak terpisahka layaknya binatang peliharaan seperti anjing dsb

    http://doktergigibandung.com/

    BalasHapus