Kamis, 17 Desember 2009

PENGARUH TELEVISI TERHADAP TINDAKAN BUNUH DIRI PADA

Masih ingatkah Anda dengan pemberitaan bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak pada tahun 2004 silam? Secara statistik tidak terdapat data yang pasti berapa jumlah anak yang melakukan tindakan bunuh diri atau percobaan bunuh diri tersebut. Namun menurut catatan yang dilakukan oleh media cetak Kompas, terdapat setidaknya 38 kasus bunuh diri sampai pertengahan Juni 2004. Dan sebagian diantara mereka adalah anak-anak.


Sebut saja A (13), yang nekat bunuh diri karena kecewa tidak dibelikan TV. B (12) akibat merindukan ibu, C (13), yang bunuh diri karena tidak diberi uang jajan atau D (siswa SD dari Lembang) yang nekat karena dilarang mengantar adik. E (pelajar dari Cianjur) juga gantung diri karena diputus pacar, F (pelajar dari Purwakarta) karena diduga hamil, dan G (12) yang minum racun tikus karena bertengkar dengan teman sekelas. H (5) yang nekat gantung diri yang sebelumnya dimarahi oleh orangtuanya karena tak mau mandi untuk pergi ke sekolah. Dan masih banyak lagi tindakan bunuh diri atau percobaan bunuh diri pada anak-anak yang mana alasan mereka melakukan hal itu terdengar tak masuk akal bagi orang-orang dewasa.



Terdapat dua faktor yang mempengaruhi tindakan bunuh diri yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi masalah kejiwaan pelaku bunuh diri tersebut. Sedangkan pengaruh eksternal selain keluarga, lingkungan rumah tinggal, teman sepermainan, ekonomi dan sekolah, adalah media massa.



Menurut Sosiolog Light, Keller dan Calhoun media massa diidentifikasikan sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh terhadap perilaku khalayaknya dan merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang.



Dari media massa, terutama televisi, anak mempelajari prilaku bunuh diri yang dewasa ini marak terjadi di Indonesia. Terdapat lebih dari sepuluh stasiun televisi yang ada di Indonesia, yang memiliki jam tayang lebih panjang ketimbang saat stasiun televisi hanya didominasi oleh TVRI. Stasiun-stasiun televisi swasta tersebut kemudian masuk sampai ke kota-kota kecil bahkan desa yang semakin memungkinkan sejumlah anak diterpa siaran televisi untuk jangka waktu yang lebih lama daripada sebelumnya, terutama di kota-kota besar yang hampir di semua rumah saat ini memiliki televisi. Semakin banyaknya keluarga yang memiliki antene parabola atau cable vision yang dapat menangkap siaran televisi luar negeri dan komputer dengan akses internet pun menambah keanekaragaman pesan yang diterima.



Jadi semakin berkembangnya teknologi, maka semakin tinggi juga pengaruh pesan yang dihantarkan dan memberi kesempatan bagi media massa untuk berperan penting sebagai agen sosialisasi. Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media elektronik, terutama televisi, dapat mengarahkan khalayak ke arah perilaku prososial maupun antisosial. Penayangan film-film seri dan kartun yang menonjolkan kekerasan dianggap sebagai satu faktor yang memicu perilaku agresif pada anak-anak yang melihatnya. Menurut studi Bandura dan Walters sejumlah anak yang terterpa acara televisi yang mengandung kekerasan dapat menampilkan perilaku keras dan agresif



Bandura mengungkapkan bahwa anak-anak seringkali mengobservasi prilaku yang ada disekelilingnya. Mereka lebih mudah untuk meniru apa yang mereka lihat. Ia juga menyebutkan empat proses dalam mengobservasi. Pertama , attentional process yang menentukan seberapa dekat anak memperhatikan apa yang model lakukan. Kedua retention process merujuk pada sebaik apa anak tersebut menyimpan informasi yang ia dapat tersebut dalam ingatannya. Ketiga production process yang mengkontrol sebaik apa anak dapat meniru respon model. Dan keempat, motivational process yang menentukan sebesar apa anak tersebut termotivasi untuk meniru model. Dengan demikian maka dapat dibayangkan ketika begitu banyak tontonan perihal bunuh diri hadir di banyak stasiun televisi.



Jika merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Bandura dalam kaitannya dengan kasus-kasus bunuh diri pada anak maka media massa dalam hal ini sangat berpengaruh. Anak yang gemar menonton televisi, apalagi jika acara-acara yang ditonton menampilkan adegan kekerasan, penganiyaan, pembunuhan dan bunuh diri secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, dari satu acara ke acara lainnya, dan dari satu stasiun TV ke stasiun TV lainnya, akan mempelajari prilaku tersebut. Saat ia tahu bahwa bunuh diri adalah cara yang dilakukan untuk memecahkan masalah atau cara untuk memancing perhatian, maka tidak mustahil tindakan tersebut akan ditiru setelah ia mendapat faktor pemicunya.



Memang media massa, terutama televisi, bukanlah satu-satunya faktor maraknya bunuh diri pada anak-anak. Namun media massa merupakan faktor pendukung yang memainkan peranan sebagai ’informan’, agen sosialisasi, sehingga anak-anak yang tidak mempunyai pemikiran untuk bunuh diri seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, kemudian terpikir untuk melakukan hal yang serupa. Mereka meniru model, dan model tersebut didapat dengan mudah melalui media massa yang menyuguhkan ”tips memecahkan masalah a la orang dewasa yang stress”.



Peran keluarga dalam memonitor apa yang anak tonton sangat diperlukan. Orang tua, dalam hal ini orang yang lebih tua dari anak-anak tentunya, termasuk Anda, perlu membimbing dan memilah-milah apa yang baik untuk anak-anak tonton, tontonan yang tidak menonjolkan kekerasan, penganiayaan ataupun pembunuhan. Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Mayke S Tedjasaputra, mengungkapkan bahwa sebaiknya anak usia 0-3 tahun sama sekali tidak menyaksikan televisi. Menurut penelitian di Amerika Serikat, anak usia satu tahun yang mengkonsumsi televisi selama tiga jam sehari dapat stimulus berlebihan. Akibatnya, anak terganggu konsentrasinya dan tidak fokus saat mengerjakan sesuatu. Ia melanjutkan, pada anak usia di bawah lima tahun, stimulus akan diterima oleh sistem limbic. Reaksinya ialah menyerang balik atau takut. Muncullah sifat agresif atau impulsif, termasuk mengikuti adegan berbahaya di televisi.



Ketimbang menyaksikan televisi, orangtua perlu lebih sering menghabiskan waktu dengan anak, misalnya bermain atau membacakan cerita. Orangtua harus ikut berkorban menahan godaan untuk tidak banyak menonton televisi, terutama sinetron-sinetron atau program-program bertema kekerasan dan kriminalitas.



Diharapkan Indonesia memiliki Mediawatch yang tidak saja mengontrol fungsi-fungsi media dan mengadvokasi kepentingan publik. Tetapi juga mendidik masyarakat untuk mengkonsumsi televisi secara cerdas dan kritis sehingga pihak media dapat mengurangi tayangan bertema kekerasan di televisi. Yah, semoga!

1 komentar:

  1. Bunuh diri karena tak di beri uang jajan, atau alasan lain yang tak masuk logika. Menggelikan ketika mendengarnya, tapi mengerikan saat mendapati kenyataannya. Indonesiaku, jika generasi-generasi dominan berbuat demikian, lantas siapa yang akan menjadi tiang baru menggantikan tiang rapuh Indonesia???

    BalasHapus