Saudaraku...
Sepertinya ini adalah suatu usaha keras, memakan banyak waktu dan
melalaikan semua kesempatan yang ada. Dan mungkin, pada akhirnya menjadi
pecundang. Inikah yang dinamakan cinta itu? Wahai dari apa yang telah kudengar,
kubaca dan segala apa yang kurasakan?!
Sungguh celakalah diriku, jika ini adalah perasaan cinta yang tidak bisa dikendalikan
itu. Yang olehnya menjadi sebab banyak orang bertekuk lutut dan menanggalkan
perasaan iffah –kemuliaan diri–, guna
mendapatkan perhatian orang yang dicintainya itu.
Aku harap dari perasaan ini, bukanlah bentuk rasa takut. Melainkan sebuah
wujud keberanian untuk menunjukkan bahwa aku adalah yang terbaik untuk bisa
mengagumimu. Rasa kagum, atau apapun ini, telah membuatku malu untuk sekedar
menatap atau menikmati keberadaanmu.
Seiring dengan jarum waktu yang melaju kian cepat jiwakupun merasa tergilas
dengan kerinduan yang engkau ciptakan; tanpa engkau sadari. Entah kenapa,
keberadaanmu kini tiba-tiba menjadi sesuatu yang sangat penting bagiku.
Sampai-sampai untuk menepis lintasan-lintasan sketsa bayangan wajahmu yang
datang bertubi-tubi setiap saat, aku harus bermujahadah siang dan malam—dengan shaum dan qiyamullail,
tentunya.
Betapa ini merupakan sebuah siksaan batin yang sangat dahsyat seandainya kau tahu. Aku sendiri heran,
mengapa hal ini bisa terjadi. Atau hal ini terjadi karena kebodohanku semata,
yang lemah dalam memegang tali-Nya yang kokoh itu? Sehingga lebih mengikuti
hawa nafsu daripada takut pada pengawasan-Nya
yang maha tajam itu?
Aku berdoa kepada Allah agar ”penyakit” ini segera dicabut dari hatiku,
apabila dengannya membuatku merasa jauh dari pengawasan sang pengawas yang tak
pernah lalai, yaitu Allah ta’ala.
Saudaraku...
Aku ingin benar-benar bertanya kepadamu, sebenarnya apa yang engkau miliki
sehingga sayap abu-abuku terbang merendah mendekat untuk sekedar memungut
perhatianmu? Aku tak tahu apakah para ikhwan
juga pernah merasakan seperti apa yang aku rasakan.
Sosok tubuhku dengan kepakan sayap yang samar kuyakini tak akan pernah
membuat apapun mendekatiku. Kecuali, mereka yang peduli dengan abu-abuku yang
berarti kesunyian dan kerinduan. Mereka sungguh tak mampu membuat melihat semua
ini berulang-ulang. Engkau dengan perasaan dan naluri keibuan yang ada dalam
jiwamu tentu bisa lebih mengerti, mengapa banyak ikhwan lebih mudah terpelanting ke lembah zina dibanding mereka
para akhwat?
Saudaraku...
Bayangkan apa yang engkau rasakan, bila melihat orang bertampang kusut
tanpa gairah hidup gara-gara cinta. Padahal, seharusnya cinta bisa membuat
hidup lebih berwarna; bukan abu-abu yang tak punya pendirian warna. Samar!
Bukankah pelangi kelihatan indah disebabkan karena spektrum warna yang
membias menjadi warna-warni? Tapi ukhti,
meski demikian jujur saja sangat indah. Apakah aku harus menjadi pendusta,
dengan mendustai nurani ini, sedang dusta adalah seburuk-buruk ucapan.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: ”Dan hindari oleh kamu dusta, karena dusta
itu membimbing kamu pada kejahatan, membimbing ke neraka. Seseorang yang
senantiasa berdusta dan mempertahankan kedustaannya, maka dicatat atau diberi
gelar oleh Allah ta’ala sebagai ”kadzab” (si pendusta).” (HR. Muslim).
Demikian juga saat aku melihat dirimu yang tidaklah begitu baik dalam
menjalani hidup ini. Aku tidak bisa membayangkan jika engkau bukanlah seorang
wanita cerdas atau seorang yang mampu mengekspresikan diri dengan beraktifitas atau
bekerja. Aku tidak tahu, apakah aku akan kagum padamu seperti saat ini. Aku
berlindung kepada-Nya dari keburukan mataku yang memandang sesuatu yang
diharamkan-Nya, memandang, menikmati keberadaanmu, misalnya.
Nau’dzubillah summa
na’udzubillah.
Saudaraku...
Engkau adalah orang sibuk, yang tidak bisa dibantah dengan dalih apapun. Apalagi dalihku yang diluar logika. Aku yang mengagumi
dirimu tanpa bisa berkomentar apa-apa. Sedangkan yang aku tahu, hanya apa yang
ada pada diriku sendiri; penampilanmu indah karena cintaku berapresiasi sendiri
mengenai keindahan yang engkau ciptakan.
Satu lagi, engkau adalah orang baik yang pernah aku temui. Paling tidak, aku pernah…bahkan atau sering menerima
kebaikan itu. Meski tanpa engkau sadari. Sehingga kadang-kadang aku terjebak
pada lingkaran perasaanku sendiri yang penuh dengan warna-warni keindahan?
Apakah ini juga yang dinamakan as-saqr—mabuk
itu? Cinta yang membuat hati berguncang keras ketika disebut nama yang
dicintainya. Cinta yang membuat orang-orang kuat menjadi merasa lemah? Cinta
yang membuat segala sesuatu yang jauh terasa begitu dekat? Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari apresiasiku yang berlebihan
ini. Lindungi aku dari kelemahan jiwa ini.
Saudaraku…
Seorang yang peduli pada sayap abu-abuku mengatakan sesuatu mengenai apa
yang ada dalam perasaanku sendiri. Ingin jadi pecundang,
atau pemenang? Tentu saja aku ingin jadi pemenang. Siapa yang tak mau jadi pemenang, menjadi orang nomor satu—meski bagi
dirinya sendiri?
Jujur, ingin aku katakan padamu bahwa namamu telah menjadi salah satu
prasasti dari lembaran-lembaran kisah hidup ini. Meskipun untuk memahat
prasasti itu membutuhkan waktu yang lama dan segenap daya upaya. Tapi saya
yakin engkau tak akan pernah tahu hal itu. Cukuplah Allah yang mengetahui
seberapa waktu di butuhkan dan daya yang telah aku usahakan.
Saudaraku...
Aku tahu bahwasanya engkau akan
selalu berusaha menjaga kehormatanmu selaku wanita mulia yang
dimuliakan. Tapi perkenankan aku untuk bertanya padamu tentang satu hal.
Mungkin ini adalah hal yang konyol sekaligus tak pantas ditanyakan oleh seorang
yang mengaku dirinya mukmin. Terlebih seorang ikhwan?
Apakah sebenarnya engkau menaruh perhatian khusus padaku? Ah, maaf! Ini
hanya perasaanku saja. Karena toh, memang engkau selalu berbuat baik kepada
siapapun. Bukanlah itu adalah hal yang bagus?
Saudaraku...
Sangat sulit bagi diriku saat disodorkan dua pilihan.
Pertama, mencintaimu dengan sembunyi-sembunyi. Yang berarti
tidak mengutarakan; memendamnya pada kedalaman hati, dan tentunya akan lebih
aman, karena tanpa ada konsekuensi diterima atau ditolak. Hanya saja, tentunya
perasaan itu akan terpendam, mengerak dalam hati. Kedua, mencintaimu secara terang-terangan. Yang berarti harus
menyatakan; dan tentunya harus berani menanggung segala resiko; sakit hati, misalnya.
Saudaraku...
Untuk berekspresi tentang pertarungan rasa cintaku ini, tentu aku memilih
pilihan pertama. Itu semua, tentu
saja adalah untuk dapat mengusung segala perasaanku kedalam jiwamu. Terserah
engkau akan mengapresiasi surat ini menjadi apa. Apakah sebagai sebuah bentuk
kemunafikan atau kepengecutan? Aku sendiri tak tahu. Mengapa tiba-tiba menjadi
orang yang sedemikian nekatnya. Cukuplah Allah yang akan memberikan balasan
atas apa yang telah aku lakukan.
Seorang teman mengatakan padaku: ”Di
dalam panggung cinta hanya ada dua pilihan, bermain sungguh-sungguh (menikah)
atau tidak sama sekali (meninggalkan hubungan-hubungan selainnya). Katakan
bahwa kamu mencintainya atau diamlah jangan katakan apapun, yang berarti aku
harus tetap menjalani cintaku tanpa pernah terekspresikan.”
Saudaraku...
Sesaat muncul keberanian dalam diriku. Aku ingin mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu. Terserah engkau mau
merangkul abu-abuku atau tidak, karena aku yang butuhkan adalah berekspresi. Ah
ukhti, sikapmu sungguh menyurutkan
langkahku hingga aku berubah menjadi pecundang.
Waktu telah menunjukkan pukul 00.00. Sudah larut malam memang. Apakah
engkau masih menyibukkan diri dengan aktifitas dan kesibukan demi masa depan
yang lebih baik? Kalau begitu, selamat malam. Selamat beraktifitas dan selamat
bermimpi. Jika engkau sempat terlelap, aku akan menjagamu dengan doa dan
menyelimuti tubuhmu dengan sayap abu-abuku tanpa kau tahu.
Penat, apabila aku harus teringat wajah ukhti
hari ini. Sibuk nih, hingga sama
sekali tak peduli dengan keadaanku? Tapi yach,
memang demikian seharusnya, sebagai seorang akhwat,
terlebih aktivis. Tidak boleh masuk dalam perangkap kesia-siaan—memikirkan
lintasan-lintasan perasaan salah satunya. Tetaplah engkau menjadi dirimu,
seorang wanita yang selalu menjaga kehormatan.
Saudaraku, jagalah kehormatanmu!
Jagalah pakaian taqwamu sebagai muslimah sejati, rasa malu itu. Janganlah engkau
nodai hati, pikiran dan jiwamu. Janganlah engkau tanggalkan dan gadaikan kemuliaanmu
di dunia dan akhirat kelak demi sedebu kemuliaan di dunia ini.
Perhatikan firman-Nya yang menggetarkan nurani sang pencinta sejati: ”Maka takala mereka melupakan peringatan yang
telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan
untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah
diberikan kepada mereka. Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka
ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS. Al- An’aam: 44)
Dan juga firman-Nya...
”Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsumu sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan
Allah telah mengunci mati mata, pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya
sesat?) Maka, apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jaatsiyah: 23)
Saudaraku...
Berikanlah dirimu sepenuhnya nanti pada ikhwan
yang menjadi pasangan jiwamu. Cinta yang suci, (yang hanya mengharap ridha
pemilik jiwa—Allah ), saya yakin hanya
akan tumbuh pada jiwa-jiwa yang tetap tegar
dalam menghadapi terpaan badai cobaan.
Ketahuilah wahai saudaraku, betapa Allah telah memberi contoh seorang
wanita besar yang terjerembab dalam jurang kenistaan lantaran penurutan
terhadap nafsu. Tengoklah kisah nabi Yusuf ’alaihi
salam, dimana Zulaikha harus menanggung malu atas apa yang ia perbuat.
Sungguh, jika engkau pahami kedalaman kisah itu dapat banyak sekali ibrah –pelajaran– yang dapat kau ambil.
Dapat kau petik buah kemuliaan dari pohon penjagaan diri.
Dalam banyak doa umat manusia, aku pernah mendengar jika dia adalah jodohku
maka dekatkanlah dia, tapi bila ia bukan jodohku maka jauhkanlah dia. Beberapa
kali juga aku meniru doa itu, tentu saja itu kaitannya denganmu. Lagi-lagi
engkau! Dan yang ku maksud jauhkan dan dekatkan itu adalah dari hatiku.
Tapi engkau orang yang hebat. Semakin aku menjauh agar bukan engkau jodohku
karena bisa-bisa aku mati kesepian dengan kecuekan
dan kesibukannya, eh lagi-lagi aku
gagal. Namun demikian, aku yakin akan kepastian janji-Nya, bahwasanya orang
baik pastilah akan bertemu dengan orang baik, begitupun sebaliknya. Jadi kenapa
kita tidak berusaha saja menjadi yang terbaik di hadapan-Nya?
Saudaraku...
Apa yang ada dalam pikiranmu jika melihatku? Ataukah aku memang tak pernah
tampak sama sekali dimata ukhti? Aku
bosan. Seharian tadi terbesit di hatiku untuk meninggalkan semua amanah-amanah
dakwah, agar segala hal tentangmu terlupakan. Tapi aku masih punya sisi hati
lain yang juga menentang perasaan cinta ini. Gejolak ini telah membuatku
menjadi munafik! Nau’dzubillah.
Semoga Allah segera mengembalikan ghirahku untuk segera kembali pada jalan-Nya
yang lurus. Kenapa cuma gara-gara cinta banyak ikhwan harus menjadi laki-laki lemah yang tak berdaya? Yah, disisi lain aku sadar bahwa engkau
bukanlah satu-satunya penentu tetap berlangsungnya hidupku. Atau aku harus mati
sebelum mengatakan apapun dan sebelum aku bisa memiliki ukhti? Tidak! Aku akan tetap melanjutkan hidup untuk menemukan
cinta-Nya.
Menuliskan risalah cinta untukmu sebenarnya membuat aku menjadi seorang
yang sentimen. Bagaimana tidak?
Menulis risalah ini sama halnya dengan ”menguliti” idealisme yang aku junjung
tinggi-tinggi selama ini. Idealisme untuk “no
coment” tentang akhwat!
Tetapi, aku
memilih ekspresi diri. Inilah salah satu cara biar engkau tidak tahu untuk apa
aku bersikap manis di hadapanmu. Sudahlah, lagi-lagi cuma
sampai di sini aku bisa bersikap tanpa harus berkata-kata. ”Aku sudah menyiapkan diri untuk tidak menjadi siapapun di hadapanmu.
Tidak menjadi kerikil di jalan hidup, kalau aku sedemikian kasarnya. Tidak juga
menjadi kabut penghalang pandangan ukhti kalau aku sedemikian kabur dan
dingin.”
Kadang aku berpikir bagaimana seandainya kau tahu tentang tulisan ini. Jika
tahu, saya pastikan engkau akan diam saja. Atau paling-paling cuma tertawa,
orang bodoh mana yang mau menulis risalah tanpa mau mengirimkannya? Sudah ah,
aku tak mau berfikir apapun tentangmu, habis aku capek bisa-bisa aku ”sakit” lagi. Ternyata aku hanya bisa menulis
risalah untukmu disaat diri ini ”sakit”. Rasanya cukup ”sakit”ku ini.
Hari-hariku, jika engkau sempat sampaikan padanya: Cukuplah Allah yang akan menentukan ke arah mana sampan cinta ini akan
menuju. Dan cukuplah Allah yang mengisi seberapa banyak bejana cinta dihati ini
harus terisi.
Berdoalah semoga di antara kita, ada Allah sebagai hijabnya. Sehingga akar-akar perasaan malu untuk bermaksiat pada-Nya
dapat menancap dalam relung-relung hati yang terdalam. Marilah kita berlaku ihsan pada diri kita masing-masing.
Sudahlah, ukhti, hawa dingin
makin memeluk penuh tubuhku. Biarkan, aku memeluk perasaan ini dalam selimut.
Sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar